Senin, 12 Januari 2015

Pikirkan dan Syukurilah!




Artinya, ingatlah setiap nikmat yang Allah anugrahkan kepada kita. Karena Dia telah melipatkan nikmat-Nya dari ujung rambut hingga ke bawah kedua telapak kaki.

{Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya.}
(QS. Ibrahim: 34)

Kesehatan badan, keamanan negara, sandang pangan, udara dan air, semuanya tersedia dalam hidup kita. Namun begitulah, kita memiliki dunia, tetapi tidak pernah menyadarinya. kita menguasai kehidupan, tetapi tak pernah mengetahuinya.

{Dan, Dia menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu lahir dan batin.}
(QS. Luqman: 20)



Kita memiliki dua mata, satu lidah, dua bibir, dua tangan dan dua kaki.

{Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan?}
(QS. Ar-Rahman: 13)



Apakah Anda mengira bahwa, berjalan dengan kedua kaki itu sesuatu yang sepele, sedang kaki acapkali menjadi bengkak bila digunakan jalan terus menerus tiada henti? Apakah Anda mengira bahwa berdiri tegak di atas kedua betis itu sesuatu yang mudah, sedang keduanya bisa saja tidak kuat dan suatu ketika patah?


Maka sadarilah, betapa hinanya diri kita manakala tertidur lelap, ketika sanak saudara di sekitar Anda masih banyak yang tidak bisa tidur karena sakit yang mengganggunya? Pernahkah Anda merasa nista manakala dapat menyantap makanan lezat dan minuman dingin saat masih banyak orang di sekitar Anda yang tidak bisa makan dan minum karena sakit?



Coba pikirkan, betapa besarnya fungsi pendengaran, yang dengannya Allah menjauhkan Anda dari ketulian. Coba renungkan dan raba kembali mata Anda yang tidak buta. Ingatlah dengan kulit Anda yang terbebas dari penyakit lepra dan supak. Dan renungkan betapa dahsyatnya fungsi otak Anda yang selalu sehat dan terhindar dari kegilaan yang menghinakan. Adakah Anda ingin menukar mata Anda dengan emas sebesar gunung Uhud, atau menjual pendengaran Anda seharga perak satu bukit? Apakah Anda mau membeli istana-istana yang menjulang tinggi dengan lidah Anda, hingga Anda bisu? Maukah Anda menukar kedua tangan Anda dengan untaian mutiara, sementara tangan Anda buntung? 



Begitulah, sebenarnya Anda berada dalam kenikmatan tiada tara dan kesempurnaan tubuh, tetapi Anda tidak menyadarinya. Anda tetap merasa resah, suntuk, sedih, dan gelisah, meskipun Anda masih mempunyai nasi hangat untuk disantap, air segar untuk diteguk, waktu yang tenang untuk tidur pulas, dan kesehatan untuk terus berbuat. Anda acapkali memikirkan sesuatu yang tidak ada, sehingga Anda pun lupa mensyukuri yang sudah ada. Jiwa Anda mudah terguncang hanya karena kerugian materi yang mendera. Padahal, sesungguhnya Anda masih memegang kunci kebahagiaan, memiliki jembatan pengantar kebahagian, karunia, kenikmatan, dan lain sebagainya. Maka pikirkan semua itu, dan kemudian syukurilah!

{Dan, pada dirimu sendiri. Maka, apakah kamu tidak memperhatikan.}
(QS. Adz-Dzariyat: 21)

Pikirkan dan renungkan apa yang ada pada diri, keluarga, rumah, pekerjaan, kesehatan, dan apa saja yang tersedia di sekeliling Anda. Dan janganlah termasuk golongan

{Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya.}
(QS. An-Nahl: 83)


Sumber: La Tahzan, Dr. `Aidh al-Qarni – Pikirkan dan Syukurilah!


Jumat, 09 Januari 2015

Seperti Apakah Sukses Itu?



“SUKSES”
Sebenarnya apakah arti kata tersebut? Pernah kita berpikir apa yang terkandung dibalik kata “sukses” tersebut? Seberapa seringkah kita menggapai kata “sukses” itu? Atau bahkan, pernahkah kita merasakannya?

Banyak orang yang bergulat dengan kehidupan dan berpikir bahwa dia harus “sukses”. Apakah “sukses” itu saat kita mendapatkan kekuasaan, mendapatkan kedudukan yang tinggi, mendapatkan penghormatan dari orang-orang yang bahkan tidak mengenal kita dengan baik? Atau saat kita mendapatkan apa saja dengan uang?

Entahlah...

Hidup ini adalah seni bagaimana membuat sesuatu. Dan seni harus dipelajari serta ditekuni. Maka sangatlah baik bila manusia berusaha keras dan pebuh kesungguhan mau belajar tentang bagaimana menghasilkan bunga-bunga, semerbak harum wewangian, dan kecintaan di dalam hidupnya. Itu lebih baik daripada ia terus menguras tenaga dan waktunya hanya untuk menimbun harta di saku atau gudangnya. Apalah arti hidup ini, bila hanya habis untuk mengumpulkan harta benda dan tidak dimanfaatkan sedikitpun untuk meningkatkan kualitas kasih sayang, cinta, keindahan dalam hidup in?

Banyak orang yang tidak mampu melihat indahnya kehidupan ini. Mereka berpikir telah “sukses”, akan tetapi mereka hanya membuka matanya untuk “uang” semata. Maka, meskipun berjalan melewati sebuah taman yang rindang, bunga-bunga yang cantik mempesona, air jernih yang memancar deras, burung-burung yang berkicau riang, mereka sama sekali tidak tertarik dengan semua itu. Di mata dan pikirannya hanya ada uang –berapa yang masuk dan keluar hari itu- saja. Padahal, kalau dipikir lebih dalam, sebenarnya ia harus membuat uang itu menjadi sarana yang baik untuk membangun sebuah kehidupan yang bahagia. Tapi sayang, mereka justru mebalikkan semuanya; mereka menjual kebahagiaan hidup hanya demi mendapatkan uang, dan bukan bagaimana membeli kebahagiaan hidup dengan uang.

Jadi, seperti apakah sukses itu?

Saat kita bisa melihat semua anggota keluarga tersenyum dengan damai tanpa beban, tapi masih banyak saudara kita di luar sana yang tak memiliki tempat tinggal, apakah itu sukses?

Saat kita merasa telah memiliki semua yang kita inginkan, tapi masih banyak saudara kita dalam keadaan kemiskinan, apakah itu sukses?

Saat kita berhasil melewati setiap jurang-jurang kehidupan,tapi masih banyak saudara kita yang berjuang menghadapi kematian karena kelaparan, apakah itu juga sukses?

Sukses itu adalah saat kita berhasil mencapai kebahagiaan dan kebahagiaan itu tidak ditentukan oleh tempat dan waktu, tapi oleh keimanan, kualitas ketaatan sebagai orang yang beragama, dan hati. Hati adalah tempat untuk melihat Rabb. Ketika di hati sudah tertancap sebuah keyakinan, maka akan muncul kebahagiaan yang mengalirkan kedamaian dan keteduhan ke dalam jiwa. Dari situ kebahagiaan akan meluap kepada yang lain. Dengan demikian, kebahagiaan itu berada di bukit-bukit, di lembah-lembah, dan di atas pohon. 
  
Kebahgiaan itu tidak terletak pada cek yang dicairkan, tidak pada tahta yang tinggi, tidak pada pangkat yang disegani, tidak pada kendaraan yang dibeli, bukan pada wangi bunga yang semerbak, bukan pada beras yang dimakan, dan bukan pula pada kain yang dibentangkan.

Anggapan kita, ketika telah berhasil memperluas rumah, ketika bisa memperbanyak barang, dan ketika berhasil menumpuk semua perabotan dan apa saja yang kita senangi, kita akan bahagia, senang, dan gembira. Semua itu justru menjadi sebab jiwa resah, tertekan dan hanya menambah masalah. Karena bagaimanapun, segala sesuatu akan membawa keresehan, kesuntukan, dan ‘pajak uang harus dibayar’ untuk mendapatkannya.

Kebahagiaan itu adalah keriangan hati, karena kebenaran yang dihayatinya. Kebahagiaan adalah kelapangan dada, karena dekat dengan Sang Penguasa alam semesta. Kebahagiaan adalah ketentraman jiwa, karena dapat berbagi kepada sesama. Kebahagiaan adalah saat melihat semua orang yang kita sayang tersenyum, dan melihat anak-anak yatim piatu juga merasakan kebahagiaan yang kita rasakan. Dan, kebahagiaan itu berbeda dengan kenikmatan dunia. Kebahagiaan hanya bisa dicapai saat kita dekat dengan-Nya, Tuhan Semesta Alam.

Bagaimana menurut Anda tentang “sukses” itu? Seperti apakah “sukses” yang ingin Anda gapai?

Kamis, 08 Januari 2015

Biarkan Masa Depan Datang Sendiri

{Telah pasti datangnya ketetapan Allah, maka janganlah kamu meminta agar disegerakan (datang)nya.}
(QS. An-Nahl:1)

Jangan pernah mendahului sesuatu yang belum pernah terjadi! Apakah Anda mau mengeluarkan kandungan sebelum waktunya dilahikan, atau memetik buah-buahan sebelum masak? Hari esok adalah suatu yang belum nyata dan dapat diraba, belum berwujud dan tidak memiliki rasa dan warna. Jika demikian, mengapa kita harus menyibukkan diri dengan hari esok, mencemaskan kesialan-kesialan yang mungkin akan terjadi padanya, memikirkan kejadian-kejadian yang akan menimpanya, dan meramalakan bencana-bencana yang bakal ada di dalamnya? Bukankah juga tidak tahu apakah kita akan bertemu dengannya atau tidak, dan apakah hari esok kita itu akan berwujud kesenangan atau kesedihan?


Yang jelas, hari esok masih ada dalam alam gaib dan belum turun ke bumi. Maka, tidak sepantasnya kita menyebrangi sebuah jembatan sebelum sampai di atasnya. Sebab, siapa yang tahu bahwa kita akan sampai atau tidak pada jembatan itu. Bisa jadi kita akan terhenti jalan kita sebelum sampai jembatan itu, atau mungkin pula jembatan itu hanyut terbawa arus terlebih dahulu sebelum kita sampai di atasnya. Dan bisa jadi pula, kita akan sampai pada jembatan itu dan kemudian menyebranginya.

                Dalam syariat, memberi kesempatan kepada pikiran untuk memikirkan masa depan dan membuka-buka alam gaib, dan kemudian terhanyut dalam kecemasan-kecemasan yang baru diduga darinya, adalah sesuatu yang tidak dibenarkan. Pasalnya, hal itu termasuk thulul amal (angan-angan yang terlalu jauh). Secara nalar, tindakan itupun tidak masuk akal, karena ironis kebanyakan manusia di dunia ini justru banyak yang termakan oleh ramalan-ramalan tentang kelaparan, kemiskinan, wabah penyakit dan krisis ekonomi yang kabarnya akan menimpa mereka. Padahal semua itu hanyalah bagia dari kurikulum yang diajarkan di “sekolah-sekolah setan”.

{Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir), sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia}
(QS. Al-Baqarah: 268)

                Mereka yang menagis sedih menatap masa depan adalah yang menyangka diri mereka akan hidup kelaparan, menderita sakit selama setahun, dan memperkirakan umur dunia ini tinggal seratus tahun lagi. Padahal, orang yang sadar bahwa usia hidupnya berada di ‘genggaman yang lain’ tentu tidak akan menggadaikannya untuk sesuatu yang tidak ada. Dan orang yang tidak tahu kapan akan mati, tentu salah besar bila justru menyibukkan diri dengan sesuatu yang belum ada dan tak berwujud.
              Biarkan hari esok itu datang dengan sendirinya. Jangan pernah menanyakan kabar beritanya, dan jangan pula pernah menanti serangan petakanya. Sebab, hari ini Anda sudah sangat sibuk.
             Jika Anda heran, maka lebih mengherankan lagi orang-orang yang berani menebus kesedihan suatu masa yang belum tentu matahari terbit di dalamnya dengan bersedih pada hari ini. Oleh karena itu, hindarilah angan-angan yang berlebihan.

Sumber: La Tahzan, Dr. ‘Aidh al-Qarni