Selasa, 16 Agustus 2016

Bagaimana ia akan membalas?




22 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Ia tersenyum tipis mengingat umurnya yang semakin hari semakin tua, mengingat jatah umur yang semakin berkurang, mengingat belum bisa melakukan apa-apa untuk orang tuanya sedangkan umurnya sudah terbilang ‘dewasa’.

19 tahun silam, gadis itu masih mengingat bagaimana kehidupan keluarganya. Tahun-tahun yang sangat sulit untuk gadis kecil itu. Ia tidak terlahir dari keluarga yang kaya, Ayahnya bekerja sebagai seorang guru Sekolah Dasar dan Ibunya menjadi gurunya di rumah, Ibu Rumah Tangga. Kehidupan seorang guru saat itu sangat memprihatinkan. Orang-orang tak berminat menjadi guru, bahkan negara mencari orang-orang yang mau menjadi guru. Dulu gaji guru sangat kecil, gadis itu ingat bagaimana gaji Ayahnya hanya cukup untuk membeli beberapa kilogram beras dan beberapa potong ikan asin. Bahkan gaji petani dan pedagang atau buruh pabrik pun lebih besar dibanding gaji guru. Karena gaji yang tidak seberapa itu, Ayahnya harus bekerja lagi setelah mengajar di sekolah untuk mencukupi keperluan keluarga yang belum terpenuhi. Laki-laki itu sangat kuat dan tegar, ia tak pernah mundur menjadi seorang guru kendati banyak yang mencemoohnya karena berpenghasilan kecil. Ia tetap melakukan pekerjaan yang mulia itu, guru. Setiap harinya laki-laki itu harus ‘pintar-pintar’ mencari lauk-pauk untuk puteri kecilnya, seperti memancing di sungai dan berburu burung di hutan. Bagian terbaik dari ikan dan burung hasil tangkapan akan diberikan untuk gadis kecilnya. Dengan begitu, gadis kecilnya akan tumbuh tak kalah dengan anak lain yang juga makan makanan bergizi. Bagaimana ia akan membalas?

Gadis itu kembali tersenyum, tapi kali ini dengan senyuman yang berbeda. Senyuman yang membendung air mata. Seperti dirinya, Ayahnya juga semakin menua. Kulit yang dulu kencang dan berminyak, sekarang sudah keriput dan kering. Telapak kaki dan telapak tangan yang dulunya lembut, sekarang sudah keras karena kerja keras. Tenaga yang dulunya kuat, kini perlahan mulai berkurang. Bagaimana ia akan membalas?

“Nak, tolong pijit Ayah. Ayah lelah”. Alasan klasik Ayahnya yang rindu akan sentuhan gadis itu. Gadis itu terpaku setiap kali menyentuh kaki dan tangan Ayahnya. Kulit kaki dan tangan itu sudah mengeras, hatinya teiris-iris setiap kali merasakan bahwa telapak kakinya lebih lembut dibanding telapak tangan Ayahnya. Hatinya sakit. Gadis itu menyadari bahwa semua itu karena Ayahnya kerja keras untuk anak-anaknya, untuk dirinya. Bagaimana ia akan membalas?
Begitulah secuil memori masa lalu memangilnya.

Bagaimana ia akan membalas?
Bagaimana ia akan membalas?
Bagaimana ia akan membalas?
-----------------------------------------
Ayah, maafkan aku. Aku telah memperberat hisabmu di akhirat.
Ayah, maafkan aku. Aku telah memperberat hisabmu di akhirat. Padahal aku tahu bahwa setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban.
Kau adalah pemimpin keluarga, sedangkan aku masih saja berbuat dosa serta tak taat padamu dan Ibunda.
Ayah, maafkan aku. Telah membuatmu berat menjawab jika Allah bertanya, “Wahai hambaku, bagaimana kabar anakmu. Mengapa dia (anakmu) tidak taat kepadaKu?”.
Ayah, aku sungguh minta maaf karena aku berkata mencintaimu, tapi aku tak menghiarukan hisabmu nanti di akhirat.
Sungguh engkau telah susah payah membesarkanku dan engkau sudah susah payah mencari nafkah untukku. Sedangkan aku masih saja terlena oleh maksiat kepadaNya.
-unknown-

Sungguh Ayah, maafkan aku. Bagaimana aku akan membalas kebaikanmu?
Aku akan membahagiakanmu dihari tuamu, tunggulah sebentar lagi, Ayah....



Padang, 16 Agustus 2016

Senin, 15 Agustus 2016

Catatan #1




Baiklah, sepertinya blog ini akan menjadi catatan keGALAUan mahasiswa tingkat akhir perkuliahan. Karena disini lebih sepi dibanding sosmed yang lain. Haha
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) galau adalah:
Ga.lau a, ber.ga.lau a sibuk beramai-ramai; kacau tidak keruan (pikiran); ke.ga.lau.an n sifat (keadaan hal) galau.

KeGALAUan ini berawal ketika liburan telah berjalan lebih dari sebulan dan seminggu lagi bakal masuk perkuliahan semester ganjil tahun 2016/2017. Yaa, semester 7 lebih tepatnya, bisa dibilang mahasiswa tingkat akhir.

Tepat tiga hari sebelum 17 Agustus, seorang adik mengajak mendaki ke Marapi dan akan 17-san di puncak dengan menyaksikan sunrise pagi harinya. Wah, sontak saja tawaran itu membuatku tertarik, kapan lagi? Disaat “kewajiban yang lebih banyak dari waktu yang tersedia” inilah saatnya yang tepat untuk menyegarkan pikiran, pikirku begitu. Tapi selama dua hari menimbang-nimbang, selama itu pula banyak pertanyaan yang muncul. Bagaimana jika terjatuh? Siapa yang akan menggenggam tanganku? Siapa yang akan menjagaku jika terjadi apa-apa? Tidak ada mahram tempat bergantung, itu persoalan terbesarnya. Perihal barang apa saja yang akan dibawa, bagaimana medan yang akan dilalui, apakah sulit atau tidak, dan lain sebagainya, semua sudah kutanya pada seorang teman. Hanya satu hal yang belum bisa diterima, tidak mungkin aku menyentuh laki-laki yang bukan mahram, tidak! Lagi pula mustahil aku tidak membutuhkan pertolongan ditengah perjalanan nanti bukan?

Disaat keraguan akan pergi atau tidak, tibalah sebuah Line masuk yang intinya “Pendidikan Kimia BP 2013 diwajibkan melaksanakan Praktek Lapangan (PL)”. Seketika, ingatan menerawang entah kemana. Bukankah kabarnya tidak ada PL? Kenapa sekarang ada desas-desus PL diwajibkan kembali?

Masalahnya bukan aku menyetujui adanya PL ataupun tidak. Tidak, aku bahkan senang. Tapi, jika memang PL akan diadakan, tentu rencana awal yang telah tersusun rapi akan bergeser, kewajiban akan semakin bertambah, tak akan ada waktu untuk bersantai. Mereka menunggu, kewajiban!

Lalu apa hubungannya mau naik gunung dengan kabar PL? Haha, iya ya? Apa hubungannya.
Tentu saja, bagiku kabar ini ada dampaknya. Aku lebih memikirkan bagaimana kelanjutan kabar PL dibanding antusiasme naik gunung yang sedari awal telah menjadi planing. Aku membatalkan naik gunung. Apa hikmahnya?

Mungkin ini jawabannya, saat keraguan akan hal adanya mahram, pergi atau tidak. Memang seharusnya aku tidak pergi. Tak akan ada yang menjagaku saat diperjalanan, ya tentu saja teman sekelompok akan menjagaku, tapi mereka tak akan bisa berbuat apa-apa jika terjadi sesuatu. Tak ada yang bisa sepenuhnya menjaga, apalagi amatiran sepertiku akan sering lelah sebab naik gunung tak semudah jalan ke Mall. Untuk itu kuputuskan membatalkan saja.

Sehebat-hebatnya kita berencana, rencana Tuhan lebih hebat.”
Rabbku masih menjagaku.
Duhai, aku menahan diri untukmu masa depanku.
Aku ingin melakukan banyak hal, esok saat bersamamu.
Untukmu, entah siapa.

Catatan kegalauan, 15 Agustus 2016.