22 tahun
bukanlah waktu yang sebentar. Ia tersenyum tipis mengingat umurnya yang semakin
hari semakin tua, mengingat jatah umur yang semakin berkurang, mengingat belum
bisa melakukan apa-apa untuk orang tuanya sedangkan umurnya sudah terbilang
‘dewasa’.
19 tahun silam,
gadis itu masih mengingat bagaimana kehidupan keluarganya. Tahun-tahun yang
sangat sulit untuk gadis kecil itu. Ia tidak terlahir dari keluarga yang kaya,
Ayahnya bekerja sebagai seorang guru Sekolah Dasar dan Ibunya menjadi gurunya
di rumah, Ibu Rumah Tangga. Kehidupan seorang guru saat itu sangat
memprihatinkan. Orang-orang tak berminat menjadi guru, bahkan negara mencari
orang-orang yang mau menjadi guru. Dulu gaji guru sangat kecil, gadis itu ingat
bagaimana gaji Ayahnya hanya cukup untuk membeli beberapa kilogram beras dan
beberapa potong ikan asin. Bahkan gaji petani dan pedagang atau buruh pabrik pun
lebih besar dibanding gaji guru. Karena gaji yang tidak seberapa itu, Ayahnya
harus bekerja lagi setelah mengajar di sekolah untuk mencukupi keperluan
keluarga yang belum terpenuhi. Laki-laki itu sangat kuat dan tegar, ia tak
pernah mundur menjadi seorang guru kendati banyak yang mencemoohnya karena
berpenghasilan kecil. Ia tetap melakukan pekerjaan yang mulia itu, guru. Setiap harinya laki-laki itu
harus ‘pintar-pintar’ mencari lauk-pauk untuk puteri kecilnya, seperti
memancing di sungai dan berburu burung di hutan. Bagian terbaik dari ikan dan
burung hasil tangkapan akan diberikan untuk gadis kecilnya. Dengan begitu,
gadis kecilnya akan tumbuh tak kalah dengan anak lain yang juga makan makanan
bergizi. Bagaimana ia akan membalas?
Gadis itu
kembali tersenyum, tapi kali ini dengan senyuman yang berbeda. Senyuman yang
membendung air mata. Seperti dirinya, Ayahnya juga semakin menua. Kulit yang
dulu kencang dan berminyak, sekarang sudah keriput dan kering. Telapak kaki dan
telapak tangan yang dulunya lembut, sekarang sudah keras karena kerja keras.
Tenaga yang dulunya kuat, kini perlahan mulai berkurang. Bagaimana ia akan membalas?
“Nak, tolong pijit
Ayah. Ayah lelah”. Alasan klasik Ayahnya yang rindu akan sentuhan gadis itu.
Gadis itu terpaku setiap kali menyentuh kaki dan tangan Ayahnya. Kulit kaki dan
tangan itu sudah mengeras, hatinya teiris-iris setiap kali merasakan bahwa
telapak kakinya lebih lembut dibanding telapak tangan Ayahnya. Hatinya sakit.
Gadis itu menyadari bahwa semua itu karena Ayahnya kerja keras untuk
anak-anaknya, untuk dirinya. Bagaimana ia
akan membalas?
Begitulah secuil
memori masa lalu memangilnya.
Bagaimana ia akan membalas?
Bagaimana ia akan membalas?
Bagaimana ia akan membalas?
-----------------------------------------
Ayah, maafkan aku. Aku telah memperberat hisabmu di
akhirat.
Ayah, maafkan aku. Aku telah memperberat hisabmu di
akhirat. Padahal aku tahu bahwa setiap pemimpin akan dimintai
pertanggungjawaban.
Kau adalah pemimpin keluarga, sedangkan aku masih saja
berbuat dosa serta tak taat padamu dan Ibunda.
Ayah, maafkan aku. Telah membuatmu berat menjawab jika
Allah bertanya, “Wahai hambaku, bagaimana kabar anakmu. Mengapa dia (anakmu)
tidak taat kepadaKu?”.
Ayah, aku sungguh minta maaf karena aku berkata
mencintaimu, tapi aku tak menghiarukan hisabmu nanti di akhirat.
Sungguh engkau telah susah payah membesarkanku dan
engkau sudah susah payah mencari nafkah untukku. Sedangkan aku masih saja
terlena oleh maksiat kepadaNya.
-unknown-
Sungguh Ayah,
maafkan aku. Bagaimana aku akan membalas kebaikanmu?
Aku akan membahagiakanmu dihari tuamu, tunggulah sebentar lagi, Ayah....
Aku akan membahagiakanmu dihari tuamu, tunggulah sebentar lagi, Ayah....
Padang, 16
Agustus 2016